Minggu, 01 Maret 2009

Peduli sebagai Moralitas Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam sebuah tulisannya, filsuf Frans Magnis Suseno pernah mengidentifikasi bahwa tantangan terbesar etika politik di Indonesia adalah kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial. Semuanya itu sebenarnya berawal dari ketidakadilan sosial.

Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.

Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.

Ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan semata-mata individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

KEPEDULIAN STRUKTURAL

Dimensi utama identifikasi ketidakadilan adalah kemampuan politisi mencermati dan meningkatkan sensibilitas untuk mewujudkan kepedulian atas ketidakadilan struktural tersebut. Kepedulian bukan diperoleh dari pretensi emosional individual. Karena jika ini yang dilakukan maka yang muncul kemudian adalah etika individual. Etika individual akan muncul dalam rentangan hedonistik, egoistik, atau bahkan altruistik.

Kepedulian altruistik sangatlah utopis, politisi mengorbankan seluruh pencapaian bahkan dirinya sendiri sebagai wujud kepedulian. Bertolak belakang dengan etika hedonistik yang membuang kepedulian ke tong sampah, karena baginya semua praksis harus diarahkan pada pemenuhan kesenangan yang tak berujung.

Van Peursen (1988) membangun sebuah pemahaman perihal etika struktural. Apa itu? Etika yang merujuk pada sistem yang pro pada keadilan sosial. Jadi bukan pengorbanan atau kesenangan politisi, tapi kepedulian politisi untuk menyingkap hal-hal yang membatasi terwujudnya keadilan sosial. Inilah yang dimaksud dengan kepedulian struktural.

PROBLEM KEKINIAN

Prof Lukman Sutrisno, guru besar sosiologi UGM, pernah menyerang sebuah pandangan pada zaman Orba yang rumusannya kira-kira begini: "pemerintah tidak boleh memanjakan masyarakat, jadi jangan beri mereka ikan, tapi berilah kail". Kritik Sutrisno terutama ditujukan pada penguasaan aset strategis oleh negara dan pemilik modal. Dia berujar: "Bagaimana hidup dengan semata diberi kail, jika tidak ada lagi kolam yang tersisa untuk memancing ikan. Semuanya sudah dikuasai!".

Narasi diatas menjadi bahan pelajaran bagi kita bahwa memahami ketidakadilan butuh pencermatan yang seksama. Sangat mungkin negara menganggap diri sudah melakukan segala hal untuk masyarakat, namun keadilan justru tak kunjung tergapai karena sumber-sumber ketidakdilan masih berserak dimana-mana.

Kemiskinan, terutama bukan semata melekat pada individu. Pandangan lama mengatakan bahwa orang miskin karena dia malas. Yang terjadi jika kita menganut pandangan ini adalah kita berbuat aniaya. Sudah jadi korban ketidakadilan sosial, malah dituding lagi sebagai si pemalas.

Demokrasi yang telah menjadi pilihan kita, jangan sampai hanya bermakna prosedural, namun haruslah substantif. Demokrasi mesti berlandaskan etika yang jelas.

Etika, atau filsafat moral (Teichman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik, dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak. Standar baik dalam konteks politik bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan yang sangat pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.

Etika yang baik adalah perwujudan kepentingan masyarakat karena dilandasi kepedulian struktural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar